OLEH : GUNAWAN SULAIMAN
1. GUGATAN
A. Teori Pembuatan Gugatan
Syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 3 Rv yaitu secara sistimatis disusun dengan memenuhi tiga unsur, yakni identitas para pihak, dalil-dali kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan darsar dari gugatan (posita), serta serta tuntutan atau apa yang diminta (petitum).
B. Gugatan Tertulis
Pasal 118 HIR dan 142 R.Bg. menentukan bahwa gugatan harus diajukan secara tertulis dan ditujukan kepada ketua pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut. Gugatan tersebut harus ditandatangani oleh penggugat atau para penggugat. Kalau gugatan dikuasakan kepada kuasa hukum, maka kuasa yang menandatanganinya (Pasal 123 HIR dan 147 R.Bg.). Bagi yang awam hukum, maka ketua pengadilan berwenang memberikan nasihat dan bantuan kepada para penggugat (Pasal 119 HIR dan 143 R.Bg.).
Surat gugatan yang dibuat, haruslah bertanggal, menyebutkan dengan jelas nama penggugat, tergugat umur, agama tempat tinggal, dan kalau perlu dimuat jabatan dan kedudukannya. Surat gugat tersebut diketik rapi diatas kertas biasa dan tidak perlu diberi meterai. Surat gugatan tersebut dibuat dalam beberapa rangkap, satu helai untuk penggugat dan selainnya untuk tergugat, dan untuk majelis. Setelah itu didaftarkan dikepaniteraan pengadilan yang bersangkutan dengan membayar persekot biaya perkara.Dalam Pasal 8 Rv angka 3 dalam surat gugatan harus memuat tiga unsur pokok yaitu:
1. Identitas pihak
Identitas pada umunya meliputi nama lengkap, umur, umur, agama, pekerjaan, tempat tinggal/kediman, serta kedudukannya sebagai pihak dalam perkara. Pihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan perkara harus seperti penggugat, tergugat, turut tergugat, pelawan, terlawan, pemohon, atau termohon. Bila penggugat, tergugat, turut tergugat sebagai badan hukum publik/privat maka secara tegas disebutkan siapa yang berhak mewakilinya menurut anggaran dasar, peraturan yang berlaku.
Gugatan terhadap badan hukum publik dialamatkan kepada pimpinannya. Apabila negara yang digugat, maka gugatan harus ditujukan kepada pemerintah RI yang dianggap bertempat tinggal di depertemen. Apabila pemerintah RI yang digugat, maka gugatan harus ditujukan kepada pimpinan depatemen yang bersangkutan. Lazimnya yang maju mewakili departemen yang digugat ialah kepala bagian hukum dari badam hukum publik yang bersangkutan dengan membawa surat kuasa dari pimpinannya. Misalnya bila yang digugat adalah bupati, maka dalam identitas dibuat sbb: Pemerintah RI di Jakarta, cq Mendagri RI di Jakrta, cq Gubernur kepala daerah tingkat I, Bupati kepala daerah tingkat II, dst.
2. Fundamentum Petendi atau posita
Posita adalah dalil-dalil kongkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari suatu tuntutan. Posita terdiri dari dua bagian yaitu (1) bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian yang terjadi sehingga penggugat mengajukan gugatan. Bagian ini juga merupakan penjelasan tentang duduk perkaranya sehingga yang bersangkutan menderita kerugian dan bermaksud menuntut haknya ke pengadilan. Bagian ini disebut feitelijke gronden. (2) bagian yang menguraikan tentang hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan. Bagian ini disebut dengan rechtelijke gronden. Denga demikian posita harus menjelaskan tentang rangkaian kejadian atau peristiwa sejak adanya hubungan hukum antara penggugat dan tergugat hingga mengajukan tuntutan di pengadilan.
Secara garis besar posita harus memuat antara lain:
(1) Objek perkara, yaitu hal apa gugatan itu diajukan, apakah menyangkut sengketa waris, perkawinan, hibah, dll.
(2) Fakta-fakta hokum, yaitu hal-hal yang menimbulkan terjadinya sengketa sehingga penggugat menderita kerugian sehingga perlu diselesaikan lewa pengadilan.
(3) Kualifikasi perbuatan tergugat, yaitu perumusan mengenai perbuata materil maupun moril dari tergugat yang dapat berupa perbuatan melawan hokum,perselisihan dll.
(4) Uraian tentang kerugian penggugat baik materil maupun moril.
(5) Hubungan posita dan petitum harus jelas, petitum tidak boleh melebihi posita.
3. Petitum atau tuntutan
Dalam Pasa 8 Nompr 3 B. Rv disebutkan bahwa petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan. Olehnya itu harus dirumuskan secara singkat, jelas dan padat. Selain itu harus berdasar hukum dan didukung oleh posita.
Tuntutan dibagi kedalam tiga bagian yaitu:
(1) Tuntutan pokok atau tuntutan primer, yakni apa sebenarnya yang diminta oleh penggugat. Hakim tidak boleh mengabulkan lebih dari apa yang diminta.
(2) Tuntutan tambahan, yaitu tuntutan pelengkap, misalnya, tuntutan agar penggugat membayar biaya perkara, tuntutan agar membayar biaya nafkah, hadanah, dll.
(3) Tuntutan subsider atau pengganti. Hal itn bertujuan untuk mengantisipasi barangkali ada tuntutan pokok dan tuntutan tambahan yang tidak diterima oleh hakim yang dirumuskan dengan kalmia “mohon putusan yang seadil-adilnya” ex aequo et bono”. Jadi sifatnya sebagai tuntutan cadangan.
C. Gugatan Lisan
Pasal 120HIR dan 144 R.Bg. menentukan bahwa jika penggugat buta huruf, maka gugatan diajukan secara lisan kepada ketua pengadilan dan selanjutnya dicatat segala ihwal itu dalam bentuk tertulis. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan majelis hakim dalam pemeriksaan. Dispensasi itu diberikan untuk melindungi hak-hak mereka sebagai warga Negara. Dalam peraktik orang yang buta huruf itu dibantu oleh orang yang ditunjuk oleh ketua pengadilan agar segala gugatannya dicatat dan diformulasi dengan baik dalam bentuk tertulis. Gugtan tersebut tidak perlu di cap jempol atau dimeterai. Isi dari gugatan tsersebut sama dengan gugatan tertulis sebagaimana yang telah disebutkan di muka.